Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun pun berlalu. Tidak
terasa peringatan demi peringatan Isra miraj, sering kita laksanakan
setiap tahun. Walaupun peristiwa yang sangat bersejarah ini telah
berulang kali kita peringati, namun hal ini tidak pernah membosankan
kita sebagai seorang mukmin. Karena dengan adanya peringatan Isra mi’raj
ini, sangat banyak manfaat yang akan kita dapatkan, baik itu berupa
pelajaran, hikmah bagi kita, maupun sebagai siraman rohani dan
pemantapan iman di dalam dada-dada kita.
Kegiatan Tahunan dalam memperingati Isra Mi'raj 27 Rajab 1436 H , kegiatan tersebut juga kreasi seni anak-anak dan semua kegiatan dari awal dan akhit di lakukan anak-anak sebagai pemain dan peran dalam kegiatan.
Hal ini di lakukan sebagaimana untuk melatih adik-adik relawan dalam melakukan kegiatan yang di laksanakan di Rumah Baca dan Bermain Lentera Ilmu yang ada di Desa Keras, Kecamatan Diwek , Kabupaten Jombang.
Acara demi acara di lalui untuk anak-anak bisa tersentum dalam kreasi seni yang kegiatan utama adalah ISRA MI'RAJ Nabi Muhammad SAW.
Mengapa saya katakan sebagai siraman rohani dan pemantapan iman? Karena
Isra dan Mi’raj merupakan peristiwa maha ghaib yang menuntut umat
manusia, bukan hanya umat Islam, untuk mengimaninya.
Sebagaimana kita tau, Isra dan mi’raj merupakan fenomena ilahiyah (atau
sebuah kenyataan yang sengaja tuhan ciptakan) yang telah muncul sejak
masa awal kelahiran Islam itu sendiri, di tengah masyarakat yang
memiliki gaya berpikir sangat primitif dan sederhana, belum mampu
menemukan discovery atau penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern
sepeti zaman sekarang ini. Sehingga sangat sulit bagi seseorang di zaman
itu untuk percaya terhadap peristiwa Isra dan mi’raj ini. Oleh
karenanya, bukan sesuatu yang aneh, jika tidak sedikit orang-orang yang
telah memeluk Islam, akhirnya kembali menjadi kafir, karena peristiwa
yang mereka anggap tidak masuk akal ini.
Isra dan mi’raj adalah mu’jizat ilahiyah yang memang tidak mesti
terjangkau oleh akal manusia. Akal manusia sangatlah terbatas untuk bisa
menelusuri eksistensi Isra dan miraj itu sendiri, karena Isra dan miraj
adalah termasuk urusan ghaib yang tidak bisa dicapai oleh sesuatu yang
bersifat inderawi (Al hawas). Dalam hal inderawi ini akal hanya
diperintahkan untuk meyakini dan tunduk kepada apa saja yang difirmankan
oleh Allah swt, dan disabdakan oleh nabi Muhammad saw.
Di sinilah kita bisa membuktikan kelemahan akal manusia. Dari mana kita
coba buktikan? Contoh…, kalau kita berandai untuk membawa akal kita
kembali ke zaman dahulu, ke zaman dimana belum ditemukan saintis,
tekhnologi, dan ilmu‑ilmu pengetahuan modern seperti zaman sekarang ini.
Di zaman kolot yang kalo kata anak sekarang, “zaman kuda masih gigit
besi”.
Kalau pada waktu itu ada orang yang bercerita tentang radio, televisi,
komputer, internet. Adanya listrik yang sekali sentuh bisa terang,
sekali sentuh bisa gelap dengan seketika. Pastilah ia dibilang tukang
sihir. Kemudian bercerita pula tentang seseorang yang mampu menjelajah
angkasa raya, bahkan sampai mendarat di bulan dan sebagainya. Maka dapat
kita bayangkan apa yang akan terjadi terhadap seseorang yang bercerita
seperti ini. Tidak pelak lagi, dia pasti akan dituduh sebagai seorang
pengkhayal, seorang yang aneh, bahkan dianggap gila. Hal‑hal semacam
ini, meskipun masih termasuk ke dalam ruang lingkup alam dunia yang
bersifat inderawi, tapi kita teramat yakin, pada saat itu akal manusia
tidak akan mampu menerimanya. Apalagi dengan hal‑hal yang berbau alam
ghaib? Tentunya akal lebih sulit untuk menganalogikan dan menerimanya,
kecuali hanya dengan satu hal, “iman!”, bagi orang-orang yang hatinya
bersih.
Hal inilah yang dialami oleh baginda Rasulullah Saw ketika menyampaikan
peristiwa ini, secara spontan orang‑orang Qurays mengatakan bahwa beliau
adalah seorang pembohong, pengkhayal dan bahkan dituduh sebagai seorang
yang telah gila, Sehingga tidak sedikit orang‑orang yang masih tipis
imannya menjadi murtad kembali dari agama Islam.
Pada zaman kita sekarang, tentunya sudah tidak asing lagi bagi kita,
bila seseorang mampu mendeteksi kondisi luar angkasa hanya melalui
sebuah layar komputer, yang sama sekali tidak mempunyai sambungan kabel
ke luar angkasa sana. Betapa banyak ilmu‑ilmu baru yang masih akan
ditemukan oleh manusia di masa mendatang, yang mungkin pada saat ini
masih kita anggap sebagai sesuatu yang mustahil. Hal ini sesuai dengan
firman Allah Swt yang mengatakan:
سنزيهم آيتنا في الآفاق وفي أنفسهم حتي يتبين لهم أنه الحق، أو لم يكف بربك أنه علي كل شيء شهيد. (فصلت: 53)
“Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda‑tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri. Sehingga jelas bagi mereka, bahwa AI‑Qur’an itu adalah benar. Apakah Tuhanmu tidak cukup bagi kamu bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu”. (QS. 41:53).
“Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda‑tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri. Sehingga jelas bagi mereka, bahwa AI‑Qur’an itu adalah benar. Apakah Tuhanmu tidak cukup bagi kamu bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu”. (QS. 41:53).
tujuan Isra dan mi’rai adalah merupakan hiburan untuk
mengangkat hati Rasulullah Saw yang sebelumnya telah mengalami berbagai
cobaan dan ujian dalam mengemban dakwah Islam. Setidaknya ada tiga
cobaan besar yang pernah dialami Rasulullah Saw sebelum peristiwa Isra’
dan Mi’raj ini, yaitu: pengasingan sosial yang dilakukan kaum Qurays
terhadap Bani Abdul Muthalib dan Bani Hasyim, Wafatnya dua orang yang
sangat dicintai Rasulullah Saw dan yang selama itu senantiasa menjadi
penopang dakwah nabi, yaitu pamannya Abu Thalib dan Istrinya Khadijah
binti Khuwailid yang senantiasa setia mendampingi Rasulullah dalam pahit
getirnya mengemban risalah dakwah. Sehingga tahun terjadinya cobaan ini
sering diistilahkan dengan tahun kesedihan (Âm al Huzni), dan soal
penolakan masyarakat Thaif terhadap dakwah Islam yang dibawa oleh
Rasulullah Saw. Bukan hanya sekedar penolakan, bahkan lebih dari itu,
dimana Rasulullah Saw dilempari dengan batu sehingga mengakibatkan kaki
beliau bersimbah darah. Selanjutnya akan kita uraikan tiga cobaan itu
secara lebih terperinci.
1. Pengasingan
Pada tahun ketujuh sejak kenabian Muhammad saw, seluruh kabilah musyrikin Qurays berkumpul dan sepakat untuk memboikot Bani Abdul Muthalib dan Bani Hasyim dari kegiatan sosial. Bentuk kesepakatan blokade ini adalah: larangan berhubungan jual beli, dan berbicara dengan mereka. Menurut kesepakatan, pengasingan ini hanya bisa dicabut apabila Bani Abdul Muthalib dan Bani Hasyim menyerahkan Muhammad ke tangan mereka untuk dibunuh. Dokumen kesepakatan pengasingan ini ditempelkan pada dinding dalam Ka’bah agar tidak bisa dilihat dan dicabut oleh siapapun.
Pada tahun ketujuh sejak kenabian Muhammad saw, seluruh kabilah musyrikin Qurays berkumpul dan sepakat untuk memboikot Bani Abdul Muthalib dan Bani Hasyim dari kegiatan sosial. Bentuk kesepakatan blokade ini adalah: larangan berhubungan jual beli, dan berbicara dengan mereka. Menurut kesepakatan, pengasingan ini hanya bisa dicabut apabila Bani Abdul Muthalib dan Bani Hasyim menyerahkan Muhammad ke tangan mereka untuk dibunuh. Dokumen kesepakatan pengasingan ini ditempelkan pada dinding dalam Ka’bah agar tidak bisa dilihat dan dicabut oleh siapapun.
Dengan ini berarti Qurays telah mengumumkan mulai berlakunya resolusi
pengasingan sosial terhadap nabi Muhammad Saw dan para pengikutnya, dan
yang telah memeluk ajaran Islam secara khusus, juga terhadap Bani Abdul
Muthallib dan Bani Hasyim secara umum walaupun belum masuk agama Islam.
Mereka dihimpun disebuah lembah kering yang jauh dari sumber makanan,
yang disebut sebagai lembah Abu Thalib. Pengasingan yang tidak
berperikemanusiaan ini berjalan selama tiga tahun lebih. Dalam jangka
waktu sepanjang itu, Bani Abdul Muthallib dan Bani Hasyim tidak
diperkenankan menjual atau membeli barang apapun di pasar. Sehingga
rintihan kelaparan dan tangisan kehausan, selalu terdengar dari kaum
tertindas ini. Tidak sedikit diantara mereka yang mengikatkan batu pada
perut sekedar untuk menahan rasa lapar yang mereka derita, tidak sedikit
diantara mereka yang makan dedaunan untuk sekedar menyumpal perut
kosong. Sementara Abu Jahal dan para pengikutnya selalu awas dan waspada
terhadap siapa saja yang berani melanggar ketentuan resolusi yang telah
disepakati bersama ini. Abu Jahal tidak pernah merasa tersentuh
mendengar tangisan bayi dan rintihan orang tua yang sedang menderita
kelaparan. Yang terpenting bagi Abu Jahal hanyalah, bagaimana Bani Abdul
Muthallib dan Bani Hasyim bersedia menyerahkan nabi Muhammad untuk
dibunuh atau mau berhenti dari kegiatan dakwah yang diembannya.
Pada tahun kesepuluh dari kenabian, atas kebesaran Allah Swt, Rasulullah
bermimpi, bahwa dokumen kesepakatan yang terdapat di dalam ka’bah itu
telah terhapus dimakan rayap, kecuali sedikit tulisan nama Allah yang
masih tersisa di dokumen terlaknat itu. Mimpi ini beliau ceritakan
kepada pamannya Abu Thalib, Abu Thalib pun mempercayainya. Akhirnya Abu
Thalib mendatangi kumpulan kafir Qurays dan menceritakan apa yang telah
ia dengar dari keponakannya. Selanjutnya ia mengatakan: “Allahlah yang
telah menghancurkan dokumen kalian yang biadab dan terlaknat itu. Jika
benar apa yang dikatakan oleh keponakanku, maka kalian harus
menghentikan pengucilan dan pengasingan yang tak berperikemanusiaan ini,
dan jika ia berbohong maka akan aku serahkan ia kepada kalian untuk
dibunuh”.
Kafir Qurays menerima syarat yang diajukan oleh Abu Thatib itu dengan
senang, dan mereka merasa bahwa kemenangan segera akan mereka peroleh.
Karena mereka sangat yakin, bahwa apa yang dikatakan Muharnmad adalah
tidak benar dan mustahil terjadi, sebab dokumen yang dicap dengan tiga
stempel itu selalu berada dalam perut ka’bah dan belum pernah dilihat
dan disentuh manusia. Mereka bersama-sama pergi ke ka’bah untuk
membuktikan siapa yang akan menang. Sesampai mereka di sana, ternyata
yang mereka temui sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Rasulullah Saw.
Akhirnya, dengan perasaan marah mereka terpaksa menghapus kesepakatan
pengasingan itu. Bani Abdul Muthalib dan Bani Hasyim diperbolehkan
kembali ke rumah mereka masing-masing dan bergaul seperti sedia kala.
2. Tahun Kesedihan (‘Âm AI Huzni)
Belum lama Rasulullah merasakan kebebasan dari cobaan pedih berupa pengasingan sosial, yang dilakukan oleh kafir Qurays, cobaan baru yang tak kalah pedihnya pun menimpa. Yaitu wafatnya Abu Thalib, sang paman dan sekaligus sebagai wali bagi baginda Rasul yang ditinggal ayahnya, Abdullah, semenjak beliau berada dalam kandungan ibunya. Abu Thaliblah yang bertanggung jawab atas keselamatan Rasulullah dan selalu melindungi dan menjaganya dari usaha pembunuhan kafir Qurays. Selang beberapa hari setelah wafatnya Abu Thalib, menyusul lagi cobaan yang sangat sulit ditanggung Rasululah, yaitu wafatnya sang istri tercinta Khadijah binti Khuwailid. Maka komplitlah sudah kesedihan yang dialami oleh Rasulullah. Beliau kehilangan penolong dakwah dengan kematian Abu Thalib, dan kehilangan pendamping setia dengan kematian Khadijah binti Khuwailid. Di masa hidupnya, Abu Thalib boleh dikatakan sebagai perisai bagi keberhasilan dakwah Rasulullah. Beliau selalu tampil sebagai pembela tatkala Rasulullah menghadapi ancaman pembunuhan dan penyiksaan dari kafir Qurays. Sementara Khadijah selalu menjadi penyejuk hati dikala gundah, dan menjadi penghibur dikala mendapat kesulitan.
Belum lama Rasulullah merasakan kebebasan dari cobaan pedih berupa pengasingan sosial, yang dilakukan oleh kafir Qurays, cobaan baru yang tak kalah pedihnya pun menimpa. Yaitu wafatnya Abu Thalib, sang paman dan sekaligus sebagai wali bagi baginda Rasul yang ditinggal ayahnya, Abdullah, semenjak beliau berada dalam kandungan ibunya. Abu Thaliblah yang bertanggung jawab atas keselamatan Rasulullah dan selalu melindungi dan menjaganya dari usaha pembunuhan kafir Qurays. Selang beberapa hari setelah wafatnya Abu Thalib, menyusul lagi cobaan yang sangat sulit ditanggung Rasululah, yaitu wafatnya sang istri tercinta Khadijah binti Khuwailid. Maka komplitlah sudah kesedihan yang dialami oleh Rasulullah. Beliau kehilangan penolong dakwah dengan kematian Abu Thalib, dan kehilangan pendamping setia dengan kematian Khadijah binti Khuwailid. Di masa hidupnya, Abu Thalib boleh dikatakan sebagai perisai bagi keberhasilan dakwah Rasulullah. Beliau selalu tampil sebagai pembela tatkala Rasulullah menghadapi ancaman pembunuhan dan penyiksaan dari kafir Qurays. Sementara Khadijah selalu menjadi penyejuk hati dikala gundah, dan menjadi penghibur dikala mendapat kesulitan.
Dengan kepergian Abu Thalib dan Khadijah, berarti Rasulullah telah
ditimpa oleh dua musibah besar, yaitu kehilangan penolong dan kehilangan
orang sebagai tempat bercerita dan berbagi duka. Pada masa inilah
kesedihan yang dialami Rasulullah sampai pada puncaknya. Sehingga tahun
ini dikenal sebagai tahun kesedihan (Âm al Huzni).
Memang sebuah kenyataan bahwa kematian Abu Thalib adalah musibah besar
dalam kehidupan Rasulullah, karena setelah kepergian beliau, kafir
Qurays semakin leluasa menyiksa dan merealisasikan usaha pembunuhan
terhadap baginda Rasul, yang tidak pernah bisa mereka lakukan ketika Abu
Thalib masih hidup.
Demikian juga halnya dengan kepergian Khadijah, merupakan musibah yang
besar dalam kehidupan dakwah Rasulullah saw. Perasaan sedih meliputi
beliau, tatkala berada di luar rumah tak didapati lagi Abu Thalib
sebagai penjaga dari kejahatan kafir Qurays, dan pulang kerumah hanya
menemui sebuah kekosongan, tidak ditemui lagi sang istri yang selalu
mengucapkan kata sabar dan selalu mendorong untuk tetap bersemangat
malanjutkan perjuangan dakwah. Dimana sekarang hati yang sangat besar
itu? Yang bisa menjadi tempat mengadu tatkala butuh pengaduan, yang bisa
menyejukkan perasaan dikala kepanasan. Dimanakah akal yang cerdas itu?
Yang bisa memberikan solusi dalam berbagai kesulitan, yang selalu
membantu dalam menyelesaikan setiap problem yang dihadapi. Dimana jiwa
yang wilas asih itu? Yang selalu bersedia menanggung penderitaan dan
beban berat dalam memperjuangkan kebenaran. Dimana Khadijah sang istri
yang setia? Yang menyatakan iman tatkala orang‑orang mengingkarinya,
yang membenarkan tatkala orang‑orang mendustakannya. Dimana sang
dermawan itu? Yang menginfakkan hartanya untuk kepentingan agama Allah.
Dimana suasana kemesraan itu? Yang selalu diliputi rasa cinta dan kasih
sayang, yang selalu mendorong untuk tetap berjuang dengan tegar dan
kekuatan. Semuanya telah pergi, seiring dengan kepergian Khadijah
menemui Tuhannya. Alangkah mengharukannya, ketika Khadijah sakit ia
melihat Rasulullah dalam keadaan sedih, karena membayangkan bagaimana
Khadijah yang dulunya hidup mewah dan kaya raya, sekarang terbaring
sakit dengan tidak memiliki apa‑apa. Namun apa yang terucap dari mulut
wanita yang ikhlas ini? “Wahai Rasulullah, janganlah engkau bersedih,
kalaupun ada jalan yang terputus untuk keberhasilan dakwah ini, dan
tidak ada papan sebagai jembatannya, saya bersedia menyerahkan tubuh ini
sebagai penggantinya!”. Siapakah kiranya yang tidak akan bersedih
ditinggal seorang istri mulia seperti ini? Rasulullah sebagai manusia
biasa (Basyar), juga tidak luput dari perasaan sedih bila ditimpa
musibah yang amat besar seperti ini.
Penulis buku “Sîrah Nabawiyyah wa Atsar Muhammadiyyah” mengatakan:
“Setelah Abu Thalib meninggal, permusuhan kafir Qurays semakin
menjadi-jadi terhadap Rasulullah. Berbagai penyiksaan diarahkan
kepadanya tanpa ada lagi yang membela. Pada suatu hari Rasulullah pulang
ke rumahnya dengan kepala penuh dikotori tanah bekas Iemparan kafir
Qurays, sehingga salah seorang putrinya membersihkan kepala yang mulia
itu sambil menangis. Rasulullah berkata: “Wahai anakku, janganlah engkau
menangis! Karena Allahlah yang akan melindungi bapakmu ini”. Sehingga
akhirnya Rasulullah mengatakan: “Belum pernah Kafir Qurays melakukan hal
seperti ini kepadaku, hingga wafatnya Abu Thalib”.
3. Berdakwah ke Thaif
Dengan diliputi kesedihan yang tiada taranya di kota Mekah, Rasululah tidak pernah merasa putus asa menyebarkan dakwahnya. Setelah lebih kurang sepuluh tahun berdakwah di Mekah, namun tidak mendapat hasil positif dari kaumnya, beliau berfikir untuk berdakwah di luar Mekah. Tempat yang terpikir oleh beliau adalah daerah Thaif, daerah dimana sewaktu Rasulullah masih bayi pemah disusui oleh Halimatus Sa’diyah. Beliau berharap kalau masyarakat Thaif mau menerima dakwahnya, sehingga bisa menjadi basis bagi perjuangan dakwah untuk masa‑masa mendatang.
Dengan diliputi kesedihan yang tiada taranya di kota Mekah, Rasululah tidak pernah merasa putus asa menyebarkan dakwahnya. Setelah lebih kurang sepuluh tahun berdakwah di Mekah, namun tidak mendapat hasil positif dari kaumnya, beliau berfikir untuk berdakwah di luar Mekah. Tempat yang terpikir oleh beliau adalah daerah Thaif, daerah dimana sewaktu Rasulullah masih bayi pemah disusui oleh Halimatus Sa’diyah. Beliau berharap kalau masyarakat Thaif mau menerima dakwahnya, sehingga bisa menjadi basis bagi perjuangan dakwah untuk masa‑masa mendatang.
Namun antara apa yang dibayangkan dengan realita yang beliau temui
ternyata sangat bertolak belakang. Dengan rasa kebencian peminpin Thaif
menolak dakwah Rasulullah, seraya mengatakan: “Keluarlah engkau dari
negeri kami ini, cari tempat lain yang engkau sukai. Kami sangat takut
akan terjadi kekacauan di tengah masyarakat dan kerusakan terhadap agama
mereka”.
Sebagaimana masyarakat Thaif tidak ramah menyambut kedatangan
Rasulullah, begitu pula halnya Rasulullah keluar dari Thaif dengan
pengusiran dan kekerasan. Pemimpin Thaif mengerahkan masyarakatnya yang
bodoh‑bodoh beserta anak-anaknya untuk mengusir Rasulullah dengan
lemparan batu. Sehingga kedua kaki Rasulullah penuh luka, berlumuran
darah.
Rasulullah hanya mampu menadahkan tangannya kepada Allah ketika
meninggalkan Thaif, beliau adukan semua kelemahan dan ketidak
berdayaannya kepada yang Maha Perkasa. Pengaduan Rasulullah ini
terabadikan dalam do’anya yang sangat masyhur: “Ya..Allah, aku
mengadukan kepada-Mu tentang kelemahanku.., ketidak berdayaan yang aku
miliki.., rendahnya aku di hadapan manusia. Ya..Allah, Tuhan yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang.., Engkau adalah Tuhan orang‑orang yang
tertindas.., dan Engkau adalah Tuhanku..kepada siapa akan Engkau
serahkan diriku ini? Apakah kepada orang jauh yang akan memberengutku..?
Ataukah kepada musuh yang akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak
murka kepadaku, aku tidak peduli.., akan tetapi ampunan-Mu yang Maha
Luas sangat aku harapkan. Aku berlindung dengan cahaya wajah-Mu yang
menerangi segala kegelapan, Yang dengan itu urusan dunia dan akhirat ini
akan menjadi baik, dari kemarahan-Mu kepadaku, dan dari kemurkaan-Mu
yang akan Engkau timpakan kepada diriku, serta dari seluruh cela yang
aku miliki, sehingga Engkau ridha kepadaku. Tidak ada kekuatan dan daya
upaya kecuali hanya milik‑Mu, ya..Allah!’
Maka dari sekian banyak ujian dan cobaan yang dialami baginda Rasul di
tahun sepuluh kenabian ini, kemudian dinamakan sebagai tahun kepedihan
dan kesedihan. Namun Kondisi seperti ini terus berlanjut dengan
perjuangan dan pengorbanan Rasulullah yang tak mengenal putus asa.
Sementara para musuh Allah, terus saja melancarkan makarnya kepada
Rasulullah Saw.
Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, semua peristiwa diatas terjadi
dengan kehendak-Nya. Dan perlindungan Allah Swt selalu menyertai Nabi
Muhammad. Karena itu, Allah memerintahkan agar Rasulullah bersabar, demi
memantapkan hati beliau terhadap kebenaran janji‑janji Allah, seperti
yang kita temui dalam AI‑Qur’an.
Alangkah mulianya seorang da’i yang telah mengorbankan dirinya untuk
kepentingan umat manusia, menahankan berbagai kepedihan dan penderitaan
dari sikaan musuh‑musuh AIlah yang durjana. Sebagai seorang manusia,
tentu saja Rasulullah tidak luput dari rasa sedih dan duka bila menemui
orang‑orang yang menolak dakwahnya, sementera beliau sangat ingin agar
mereka mendapat hidayah, dan berada dalam keimanan.
Maka telah tiba saatnya Rasulullah mendapatkan udara baru, untuk
mengurangi kesedihan yang tak terperikan ini, guna membangkitkan kembali
kekuatan jiwa dan semangat juang untuk menyebarkan agama Allah di muka
bumi ini.
Maka menginjak tahun sebelas kenabian, suatu peristiwa besar terjadi,
peristiwa yang sempat menghebohkan kota Mekah, dan menjadi buah
pembicaraan yang tak putus-putusnya hingga sekarang. Yaitu perjalanan
unik yang dilakukan oleh seorang hamba di muka bumi pada malam hari,
yang dilanjutkan dengan perjalanan ke langit. Itulah peristiwa Isra’ dan
Mi’raj nabi besar Muhammad saw, yang selalu diperingati oleh umat Islam
setiap tahunnya di seantero dunia.
Perjalanan ini, Allah sendiri yang menentukan waktu, tempat, tujuan, dan maksudnya. Hal ini temaktub dalam firman Allah dalam surat Al‑Isra Ayat 1 yang berbunyi:
سبحان الذي أسري بعبده ليلا من المسجد الحرام الي المسجد الأقصي الذي باركنا حوله لنريه من آياتنا إنه هو السميع البصير. (الإسراء: 1). “Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha, yang Kami berkahi sekelilingnya. Untuk Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda‑tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dialah Tuhan yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. 17: 1).
Perjalanan ini, Allah sendiri yang menentukan waktu, tempat, tujuan, dan maksudnya. Hal ini temaktub dalam firman Allah dalam surat Al‑Isra Ayat 1 yang berbunyi:
سبحان الذي أسري بعبده ليلا من المسجد الحرام الي المسجد الأقصي الذي باركنا حوله لنريه من آياتنا إنه هو السميع البصير. (الإسراء: 1). “Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha, yang Kami berkahi sekelilingnya. Untuk Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda‑tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dialah Tuhan yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. 17: 1).
Waktunya adalah pada malam hari (Lailan). Tempatnya adalah dari Al
Masjidil Haram di Mekah ke Al Masjidil Aqsha di Palestina (Minal
Masjidil Haram iIaI MasjidiI Aqsha) untuk perjalanan di atas bumi, dan
dari Al Masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha untuk perjalan ke langit
sampai ke al Mala` al A’la bertemu dengan Allah Swt. Sementara tujuannya
adalah untuk memperlihatkan tanda‑tanda kebesaran Allah kepada nabi
Muhammad serta keagungan kekuasaan‑Nya (Linuriyahu min aayaatinaa).
Dari sini jelaslah bagi kita rahasia dan hikmah yang terdapat pada
peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini, bukan hanya sekedar mujizat bagi
Rasulullah, akan tetapi juga, merupakan penghormatan kepada Rasulullah
untuk sampai ke Al Mala` AI A’la dan sebagai hiburan, serta pelajaran
penempaan iman bagi beliau. Lebih dari itu untuk Iebih menenangkan hati
baginda Rasul serta lebih menambah keyakinannya dengan bisa melihat
langsung tanda‑tanda kebesaran Allah, sesuai dengan firman Allah yang
mengatakan: “Linuriyahû min âyyâtinâ” (Agar Kami perlihatkan kepadanya
dari tanda-tanda kebesaran Kami) serta dalam firman‑Nya dalam ayat yang
lain “Laqad ra`aa min aayyati rabbihil kubro” (Sungguh ia telah melihat
tanda‑tanda kekuasaan Tuhannya yang amat besar).
4. Persiapan fisik dan mental Muhammad saw
Menjelang keberangkatan Rasul melakukan Isra’ dan Mi’raj, beliau didatangi oleh utusan Tuhan, yang membedah dada dan membersihkan hati beliau dengan air, sebagai persiapan menghadapi perjalanan rabbaniyah yang amat aneh. Selanjutnya hati yang bersih itu, dipenuhi dengan hikmah dan keimanan. Setelah itu barulah Rasulullah diperjalankan ke Baitul Maqdis sampai ke Sidratul Muntaha menemui Allah.
Menjelang keberangkatan Rasul melakukan Isra’ dan Mi’raj, beliau didatangi oleh utusan Tuhan, yang membedah dada dan membersihkan hati beliau dengan air, sebagai persiapan menghadapi perjalanan rabbaniyah yang amat aneh. Selanjutnya hati yang bersih itu, dipenuhi dengan hikmah dan keimanan. Setelah itu barulah Rasulullah diperjalankan ke Baitul Maqdis sampai ke Sidratul Muntaha menemui Allah.
Sebagian pengkaji rasionalis, mengingkari eksistensi peristiwa
pembedahan dada Rasul ini. Padahal kalau kita perhatikan perkembangan
ilmu pengetahuan di era teknologi canggih sekarang, dimana seorang
astronot harus dibekali dengan oksigen atau bekal lain justru memperkuat
peristiwa itu sendiri. Apalagi bagi kita seorang muslim beriman
terhadap hadits‑hadits shahih Rasulullah Saw yang berkenaan dengan
peristiwa ini.
Kita melihat peristiwa ini, tidak lebih dari sebuah kehendak Allah yang
ingin memperjalankan hamba‑Nya, dengan aturan‑aturan Allah itu sendiri.
Peristiwa ini sendiri hanyalah salah satu mujizat dari sekian banyak
mujizat yang diberikan Allah kepada para nabi.
Isra’ dan mi’raj adalah sebuah perjalanan dengan aturan Allah, yang juga
menurut sunnatullah tetap membutuhkan persiapan tertentu yang matang,
baik dari segi fisik maupun mental. Sedangkan seorang astronot pada
zaman sekarang, untuk pergi ke bulan saja membutuhkan berbagai persiapan
dan latihan yang sangat pelik, agar mampu menghadapi berbagai kondisi.
Maka tidak heran jika Rasulullah yang akan menempuh sebuah perjalan,
yang diatur langsung menurut skenario Tuhan, juga membutuhkan persiapan
menurut aturan Tuhan pula, yang barangkali sulit dicerna oleh sebagian
akal manusia.
Menurut penelitian para ahli hadis, seluruh hadis Nabi yang berbicara
tentang pembedahan dada nabi ini dapat diterima, sesuai dengan syarat
syahnya suatu hadits. Kalaulah demikian halnya, dan mayoritas periwayat
hadits sepakat membenarkannya, maka gugurlah semua pernyataan
orang-orang yang mengingkari keberadaan peristiwa itu.
Menurut para ahli sejarah Islam, peristiwa pembedahan ini telah terjadi sebanyak empat kali bagi Rasulullah saw, yaitu:
Pertama, ketika menginjak umur tiga tahun, yaitu sebulan setelah kembali dari rumah Halimatus Sa’diyah, Ibu susuannya. Peristiwa ini terjadi dalam lingkungan perumahan Bani Saad.
Pertama, ketika menginjak umur tiga tahun, yaitu sebulan setelah kembali dari rumah Halimatus Sa’diyah, Ibu susuannya. Peristiwa ini terjadi dalam lingkungan perumahan Bani Saad.
Kedua, ketika berumur sepuluh tahun, dan peristiwa ini terjadi di Makkah Al Mukarramah.
Ketiga, ketika berumur empat puluh tahun, yaitu menjelang menerima wahyu pertama kali, sebagai penobatan beliau menjadi utusan Allah.
Ketiga, ketika berumur empat puluh tahun, yaitu menjelang menerima wahyu pertama kali, sebagai penobatan beliau menjadi utusan Allah.
Keempat, ketika berumur lima puluh tahun, yaitu pada malam Isra’ dan Mi’raj.
Seluruh peristiwa ini, bisa kita temui dalam hadits‑hadits nabi yang shahih. Mungkin saja sebagian orang bertanya, apa hikmah dari berulang kalinya peristiwa pembedahan dada rasul ini? Secara ringkas, di sini dapat penulis kemukakan pendapat ulama tentang itu:
Dari pembedahan pertama adalah, agar Rasulullah tumbuh sebagai manusia sempurna, dan terbebas (ma’shum) dari godaan setan.
Seluruh peristiwa ini, bisa kita temui dalam hadits‑hadits nabi yang shahih. Mungkin saja sebagian orang bertanya, apa hikmah dari berulang kalinya peristiwa pembedahan dada rasul ini? Secara ringkas, di sini dapat penulis kemukakan pendapat ulama tentang itu:
Dari pembedahan pertama adalah, agar Rasulullah tumbuh sebagai manusia sempurna, dan terbebas (ma’shum) dari godaan setan.
Dari peristiwa kedua adalah, untuk menambah kesucian hati nabi memasuki
usia dewasa yang lebih banyak menghadapi tantangan hawa nafsu.
Dari pembedahan ketiga, menjelang pertama kali menerima wahyu, hikmahnya
adalah bahwa yang akan diturunkan Allah kepadanya adalah Kalam suci,
oleh sebab itu hendaklah tempat bersemayamnya harus juga suci secara
sempurna, yaitu hati nabi.
Pada peristiwa keempat, yaitu ketika beliau akan berangkat Isra’ dan
Mi’raj. Hikmahnya adalah agar beliau dalam menghadap dan bertemu Tuhan
tidak memiliki sedikit nodapun.
Demikianlah diantara hikmah pembedahan dada nabi, dan tentu saja tidak terbatas pada hal‑hal yang telah kita sebutkan itu saja. C. Peristiwa Isra’ dan Mi’raj
Peristiwa Isra’ dan Mi’raj termasuk peristiwa sejarah yang sangat banyak mendapat perhatian dan perbincangan para ilmuwan sosial. Diantara ahli sejarah, ada yang sangat berlebihan dalam memandang kedudukan nabi Muhammad berikut mu’jizatnya, ada pula sebaliknya, mengingkari sama sekali keberadaan mujizat dalam perjalanan sejarah hidup seorang nabi.
Demikianlah diantara hikmah pembedahan dada nabi, dan tentu saja tidak terbatas pada hal‑hal yang telah kita sebutkan itu saja. C. Peristiwa Isra’ dan Mi’raj
Peristiwa Isra’ dan Mi’raj termasuk peristiwa sejarah yang sangat banyak mendapat perhatian dan perbincangan para ilmuwan sosial. Diantara ahli sejarah, ada yang sangat berlebihan dalam memandang kedudukan nabi Muhammad berikut mu’jizatnya, ada pula sebaliknya, mengingkari sama sekali keberadaan mujizat dalam perjalanan sejarah hidup seorang nabi.
Menurut Dr. Muhammad Said Ramadhan Al Buty, dalam bukunya “Fiqhus Sîrah
An Nabawiyyah”. Bahwa adanya pandangan yang mengingkari mu’jizat Nabi
dalam peristiwa Isra’ dan mi’raj ini, berasal dari para orientalis yang
turut mengkaji peristiwa Isra’ dan Mi’raj tanpa terlebih dahulu didasari
keimanan terhadap hal‑hal yang ghaib. Sehingga fenomena apapun dalam
sejarah, selalu mereka ukur dengan logika akal yang terbatas. Diantara
para orientalis yang memiliki pandangan seperti ini adalah Gustaf Lobon,
Ougust Comte, Hume, Gold Ziher dan banyak lagi yang lainnya. Sebagai
sebab utama dari pandangan mereka seperti ini adalah, karena tiadanya
iman terhadap pencipta mujizat itu sendiri. Karena jika iman kepada
Allah telah tertanam di dalam jiwa seseorang, maka akan mudah untuk
mengimani segala sesuatu yang Iebih mudah dari pada itu.
Sayangnya, pemikiran seperti ini tidak hanya dimiliki oleh para
orientalis kafir saja. Akan tetapi telah diadopsi juga oleh sebagian
pengkaji dari kalangan kaum muslimin sendiri, yang terlalu silau dengan
istilah metodologi ilmiyah –padahal subjektif– yang digembar‑gemborkan
Eropa. Sehingga akhirnya mereka berpandangan bahwa yang melakukan Isra’
dan Mi’raj itu hanyalah ruh nabi, bukan fisiknya (jasadnya). Karena
menurut mereka, mustahil tubuh nabi yang material dan terbuka itu bisa
menembus lapisan langit dalam waktu yang sangat terbatas.
Namun pandangan seperti ini telah banyak dibantah ole para ulama Islam,
bahwa kata‑kata ‘abdihi (hamba‑Nya) dalam surat AI‑Isra’ ayat 1 itu
adalah terdiri dari unsur ruh dan tubuh. Karena dalam bahasa Arab, ruh
saja tidak cukup untuk bisa dikatakan sebagai hamba, begitu sebaliknya
bahwa tubuh saja tidak bisa dikatakan sebagai hamba. Yang dikatakan
sebagai seorang hamba mesti terdiri dari gabungan unsur ruh dan tubuh.
Selanjutnya di bawah ini kita masuk ke dalam pembahasan peristiwa Isra’ dan mi’raj menurut pandanga ulama Islam. 1. Mulai Perjalanan Isra (Dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha)
Sumber kisah-kisah tentang perjalanan yang penuh misteri itu adalah kata‑kata pada permulaan Surah Al‑isra yang berbunyi:
سبحان الذي أسري بعبده ليلا من المسجد الحرام الي المسجد الأقصي الذي باركنا حوله لنريه من آياتنا إنه هو السميع البصير. (الإسراء: 1).
“Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba Nya dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda‑tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
Selanjutnya di bawah ini kita masuk ke dalam pembahasan peristiwa Isra’ dan mi’raj menurut pandanga ulama Islam. 1. Mulai Perjalanan Isra (Dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha)
Sumber kisah-kisah tentang perjalanan yang penuh misteri itu adalah kata‑kata pada permulaan Surah Al‑isra yang berbunyi:
سبحان الذي أسري بعبده ليلا من المسجد الحرام الي المسجد الأقصي الذي باركنا حوله لنريه من آياتنا إنه هو السميع البصير. (الإسراء: 1).
“Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba Nya dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda‑tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
Dalam kitab sirahnya, Ibnu Ishaq menggambarkan kisah Isra’ dan mi’raj
ini sebagai berikut: Suatu malam Jibril membawa nabi naik ke atas
punggung samawi yang disebut Buraq; lalu Muhammad Saw mengadakan
perjalanan bersama Jibril. Dan dalam perjalanan malam ke Yerussalem,
Rasulullah diperlihatkan dengan berbagai keajaiban. Dan sesampainya di
Masjidil Aqsha, Rasulullah bertemu dengan nabi‑nabi terdahulu, sekaligus
mendapatkan penghormatan untuk mengimami shalat bersama mereka.
AI Buroq, dalam bahasa Arab menurut sebagian pendapat berasal dari kata
“Al Barq” yang berarti kilat. Boleh ditafsirkan bahwa penggunaan nama
ini dalam Al Qur’an adalah untuk menunjukkan kecepatan yang tiada tara
dari jenis kendaraan ini.
Di dalam buku‑buku hadis, Al buroq ini digambarkan sebagai kuda putih
yang sangat indah. Oleh sebab itu logika orang Arab pada zaman
Rasulullah Saw tidak dapat menerima peristiwa Isra dan mi’raj yang
diceritakan oleh baginda Rasul ini. Karena mereka mengetahui bahwa
seseorang yang mengendarai kuda pulang pergi dari Mekah ke PaIestina
akan memakan waktu selama lebih kurang dua bulan. Sementara Rasulullah
mengatakan kepada mereka, bahwa beliau telah pergi ke Masjidil Aqsha dan
di lanjutkan lagi dengan perjalanan mi’raj ke langit tinggi, hanya
dalam waktu satu malam. Sehingga berita yang disampaikan oleh rasul
tercinta ini, menjadi bahan tertawaan dan cemoohan bagi orang‑orang yang
mempunyai penyakit dalam hatinya, yaitu orang‑orang kafir Qurays yang
mengingkari kebenaran ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw.
Lain dengan kita yang hidup pada era teknologi canggih sekarang ini,
dimana para ilmuwan telah mampu menemukan kecepatan sebuah teknologi
yang melebihi kecepatan cahaya dan suara, yang secara aksiomatis sudah
pasti akan mengurangi panjangnya masa dalam menempuh sebuah perjalanan,
dan secara otomatis manusia pada zaman sekarang dapat memahami bahwa
sesuatu perjalanan sejauh manapun bisa dilakukan dalam waktu yang lebih
singkat dari yang terjadi pada masa‑masa sebelumnya.
Seandainya saja orang‑orang kafir yang menentang Rasulullah itu masih
hidup bersama kita sekarang ini, tentu saja mereka akan melihat
kebenaran apa yang disampaikan Rasulullah kepada mereka. Ternyata hal
itu bukan merupakan sesuatu yang mustahil dalam kehidupan kita sebagai
manusia biasa di zaman ini, apatah lagi kiranya bagi seorang rasul Allah
yang dikehendaki sendiri oleh Allah sebagai Sang Pencipta.
Dalam waktu yang sangat singkat, Rasulullah telah sampai di “Al Bait Al
Maqdis”. Di sana beliau bertemu dengan para nabi terdahulu, dan
mengimami shalat. Sesungguhnya Isra’ dan Mi’raj adalah perjalanan yang
penuh dengan keberkahan, antara Masjidil Haram yang dibangun ole
Nabiyullah Ibrahim dan anaknya Isma’il ‘Alaihimassalam di Mekah dan
Masjidil Aqsha yang dibangun oleh Nabiyullah Daud dan Sulaiman
‘AlaihimassalamI di Palestina. Kedua rumah suci ini telah diberkahi oleh
Allah swt. Demikian juga dengan apa yan terdapat disekitarnya, demikian
yang termaktub dalam firman Allah. Sehingga tempat ini benar‑benar
menjadi pusat peribadatan dan pengesaan kepada Allah Swt, dan pada kedua
tempat suci inilah wahyu‑wahyu Allah diturunkan kepada para rasul‑Nya.
Dalam perjalanan menuju Masjidil Aqsha, Rasulullah Saw sempat singgah di
suatu bukit yang penuh berkah, dimana Nabi Musa As pernah menerima
wahyu langsung dari All swt, yaitu “Bukit Tursina”, dan rasulullah
shalat dua rakaat di tempat itu. Disamping itu rasulullah juga mampir di
tempat kelahiran nabi Isa As, yaitu di sebuah bukit mubarakah yan
disebut “Betlehem (“baitullhami”, bahasa Arabnya)” dan beliau pun shalat
dua rakaat. Akhirnya sampai di “Baitul Maqdis”. Di tempat suci inilah,
beliau bertemu dengan nabi Ibrahim dan Musa di tengah kumpulan para nabi
dan rasul Allah yang lain. Di tempat ini juga Rasulullah Saw shalat
sebagai imam bagi para nabi. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim, disebutkan bahwa malaikat Jibril datang kepada Rasulullah
dengan membawa dua gelas minuman, satu berisi anggur, dan satu lagi
berisi susu. Kemudian Rasulullah memilih gelas yang berisi susu. Jibril
berkata: “Engkau telah memilih Fithrah”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Selanjutnya barulah Rasulullah melanjutkan perjalanan ke langit, yang
disebut dengan “mi’raj’. Dalam peristiwa mi’raj inilah rasulullah
melihat tanda‑tanda kebesaran Allah yang Maha Agung (min aayaati
Rabbihil Kubra).