Amsterdam, Orang tua mana
yang tak ingin anak-anaknya sukses di masa depan? Memberi kebebasan anak untuk
melakukan apa yang disukainya memang perlu, tetapi itu saja tentu tidak cukup
karena tidak akan mengarahkan anak ke mana-mana.
Handika Prasetya, seorang mahasiswa S-2 jurusan Teknik Kimia di University of Twente mengaku dibesarkan oleh orang tua yang agak ambisius. Bukan orang tua yang otoriter atau memaksakan kehendak, tetapi juga tidak membiarkannya tumbuh tanpa tujuan hidup yang jelas.
"Sejak kecil disiplin, dimonitor jam belajar dan bermainnya," kata Dika, demikian ia disapa, dalam pertemuan antara perwakilan dari PT Sari Husada dengan perwakilan pelajar Indonesia di Belanda. Pertemuan berlangsung di Longpura Restaurant, Rozengracht, Amsterdam baru-baru ini, seperti ditulis pada Senin (14/10/2013).
Hal yang sama juga dialami oleh Floretta Niode, atau akrab dipanggil Flo. Sejak kecil orang tuanya cukup disiplin mengarahkan belajarnya, termasuk mendaftarkan dirinya untuk ikut les. Begitu pun dengan pilihan pekerjaan, orang tuanya punya arahan sejak dirinya masih kecil.
"Orang tua saya cuma tahu 2 profesi, yakni dokter atau insinyur," kata Flo yang akhirnya lulus dari jurusan Teknik Industri Universitas Parahyangan, dan kini juga tengah menempuh pendidikan S-2 di Belanda, mendalami bidang Operation Research.
Bisa dikatakan, Dika dan Flo merupakan produk orang tua yang tidak begitu saja membiarkan anaknya melakukan apa yang disukainya. Ada ambisi tertentu yang ditanamkan oleh orang tua, yang sedikit banyak telah mengarahkan jalan hidupnya hingga saat ini.
Psikolog anak dan keluarga dari Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani, menyebut tipe orang tua seperti ini sebagai tipe moderat atau autoritatif. Berbeda dengan tipe orang tua otoriter, tipe autoritatif tidak memaksakan kehendak melainkan hanya mengarahkan
Handika Prasetya, seorang mahasiswa S-2 jurusan Teknik Kimia di University of Twente mengaku dibesarkan oleh orang tua yang agak ambisius. Bukan orang tua yang otoriter atau memaksakan kehendak, tetapi juga tidak membiarkannya tumbuh tanpa tujuan hidup yang jelas.
"Sejak kecil disiplin, dimonitor jam belajar dan bermainnya," kata Dika, demikian ia disapa, dalam pertemuan antara perwakilan dari PT Sari Husada dengan perwakilan pelajar Indonesia di Belanda. Pertemuan berlangsung di Longpura Restaurant, Rozengracht, Amsterdam baru-baru ini, seperti ditulis pada Senin (14/10/2013).
Hal yang sama juga dialami oleh Floretta Niode, atau akrab dipanggil Flo. Sejak kecil orang tuanya cukup disiplin mengarahkan belajarnya, termasuk mendaftarkan dirinya untuk ikut les. Begitu pun dengan pilihan pekerjaan, orang tuanya punya arahan sejak dirinya masih kecil.
"Orang tua saya cuma tahu 2 profesi, yakni dokter atau insinyur," kata Flo yang akhirnya lulus dari jurusan Teknik Industri Universitas Parahyangan, dan kini juga tengah menempuh pendidikan S-2 di Belanda, mendalami bidang Operation Research.
Bisa dikatakan, Dika dan Flo merupakan produk orang tua yang tidak begitu saja membiarkan anaknya melakukan apa yang disukainya. Ada ambisi tertentu yang ditanamkan oleh orang tua, yang sedikit banyak telah mengarahkan jalan hidupnya hingga saat ini.
Psikolog anak dan keluarga dari Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani, menyebut tipe orang tua seperti ini sebagai tipe moderat atau autoritatif. Berbeda dengan tipe orang tua otoriter, tipe autoritatif tidak memaksakan kehendak melainkan hanya mengarahkan
Bagi sebagian orang, ambisi orang tua kerap dianggap sebagai
beban bagi anak. Banyak yang akhirnya membiarkan anaknya tumbuh semaunya
sendiri, kadang tanpa tujuan yang jelas karena anak-anak belum tentu tahu apa
yang benar-benar dibutuhkan oleh dirinya.
"Bagaimanapun, orang tua mesti punya tujuan dan ambisi. Nggak bisa cuma 'terserah kamu deh'. Itu (memberi ruang pada anak) memang penting, tapi tidak mengarahkan anak ke mana-mana sebetulnya. Perlu ada ambisi, tentunya ambisi positif," kata psikolog yang kerap disapa Nina ini.
Agar ambisi tersebut tidak malah menjadi beban bagi anak, Nina berpendapat bahwa sensitivitas orang tua sangat diperlukan. Sensitivitas itulah yang membedakan antara tipe orang tua yang autoritatif atau moderat, dengan tipe orang tua yang otoriter.
Orang tua harus sensitif atau peka untuk memastikan bahwa anak-anak masih bisa bergembira, punya waktu untuk bermain dan untuk dirinya sendiri. Bila anak tampak gembira, kemungkinan besar anak-anak tersebut tidak sedang merasa terbebani oleh ambisi orang tua.
Namun itu saja tidak cukup, orang tua masih harus melakukan investigasi lanjutan. Caranya adalah dengan mengajak anak-anak berdiskusi, menanyakan apa saja yang dirasakannya. Tentunya dengan pendekatan tertentu, agar anak tidak malah terintimidasi dengan pertanyaan tersebut dan akhirnya mengiyakan semua kemauan orang tua.
"Cara tersebut paling tepat diterapkan pada anak usia 5 tahun ke atas. Kalau masih di bawah itu memang sensitivitas orang tua lebih dibutuhkan, sebab kemampuan anak untuk berkomunikasi masih terbatas. Kosakata belum banyak sehingga belum bisa mengungkapkan isi hatinya," tambah Nina.
"Bagaimanapun, orang tua mesti punya tujuan dan ambisi. Nggak bisa cuma 'terserah kamu deh'. Itu (memberi ruang pada anak) memang penting, tapi tidak mengarahkan anak ke mana-mana sebetulnya. Perlu ada ambisi, tentunya ambisi positif," kata psikolog yang kerap disapa Nina ini.
Agar ambisi tersebut tidak malah menjadi beban bagi anak, Nina berpendapat bahwa sensitivitas orang tua sangat diperlukan. Sensitivitas itulah yang membedakan antara tipe orang tua yang autoritatif atau moderat, dengan tipe orang tua yang otoriter.
Orang tua harus sensitif atau peka untuk memastikan bahwa anak-anak masih bisa bergembira, punya waktu untuk bermain dan untuk dirinya sendiri. Bila anak tampak gembira, kemungkinan besar anak-anak tersebut tidak sedang merasa terbebani oleh ambisi orang tua.
Namun itu saja tidak cukup, orang tua masih harus melakukan investigasi lanjutan. Caranya adalah dengan mengajak anak-anak berdiskusi, menanyakan apa saja yang dirasakannya. Tentunya dengan pendekatan tertentu, agar anak tidak malah terintimidasi dengan pertanyaan tersebut dan akhirnya mengiyakan semua kemauan orang tua.
"Cara tersebut paling tepat diterapkan pada anak usia 5 tahun ke atas. Kalau masih di bawah itu memang sensitivitas orang tua lebih dibutuhkan, sebab kemampuan anak untuk berkomunikasi masih terbatas. Kosakata belum banyak sehingga belum bisa mengungkapkan isi hatinya," tambah Nina.